Belajar dari tanaman, tumbuhan?

Sekali lagi saya mengalami, kebijaksanaan itu membutuhkan waktu dan pengalaman yang melibatkan banyak jenis perasaan.

Pertama, saat mulai menulis ini, saya sendiri masih agak bingung mau menggunakan kata tumbuhan atau tanaman. Tapi setelah melewati kebingungan beberapa detik tiba-tiba saya sadar memang ada dua makna di sana yang dapat menjadi awal cerita halaman ini.

Tanaman bisa berarti, sesuatu yang ditanam, sebut saja benih. Tentu saja ketika menanam benih, ada harapan untuk bertumbuh, akar menjalar menopang tubuh yang mulai muncul daun dan akhirnya berbuah. Buahnya, dapat disantap ataupun dibiarkan mengering sehingga bisa ditanam kembali. Jadi, saya pikir tanaman dan tumbuhan tidak ada beda, hanya masalah pilihan saja, mau dipakai kapan dan bagaimana penempatannya.

Dari tanaman saya belajar

Tadinya mau menulis “dari berkebun”, tapi untuk cerita kali ini saya simpan dulu bagian berkebun, saya kecilkan ruang lingkupnya menjadi tanaman. Hampir delapan bulan berlalu, saya memulai perjalanan dengan tanaman, perjalanan merawat kehidupan, kali itu pikir saya. Banyak sekali persiapan, banyak sekali percobaan. Tujuan saya merawat tanaman sebenarnya, pertama belajar hal baru, kedua ingin sekali bisa punya tanaman pangan, ikut konsep “from farm to table“. Ternyata.. banyak sekali tantangannya. Akhirnya, ada hal yang betul-betul saya pelajari dan saya ambil hari ini, ya, benar-benar hari ini, waktu di mana saya akhirnya langsung menulis halaman ini: Resilient. Memiliki daya lenting. Entah itu yang benar-benar saya pelajari atau lagi-lagi ada hal yang sangat pas dengan diri saya yang bisa saya ambil dari perjalanan dengan tanaman ini.

Saya menanam benih cabai di awal tahun, saat telah melewati tiga puluh hari belajar menanam dengan segala persiapan dan kegagalannya. Katanya menanam cabai itu cepat dan mudah, tapi entah kenapa dalam kasus saya dia baru muncul buah cabainya di bulan ke-6. Jujur saja, hampir melepas saja kalau memang dia tidak mau berbuah atau tidak bisa ya tidak apa. Hari di mana saya lihat dia berbuah, saya ingat betul baru sekitar seminggu atau sepuluh hari sebelumnya saya cek dan tidak ada tanda-tanda akan ada buah, atau saya yang kurang memahami tanda-tandanya. Saya senang bukan main! Tanggal 20 Juni, di pohon cabai yang tingginya baru kurang lebih 30cm ada dua buah cabai segar berwarna hijau. Hanya dua buah saja padahal yang siap panen, saya makan dengan tahu hari itu. Rasanya? Rasa lega.

Ketika dia sepertinya mati

Tiba-tiba tanggal 3 juli 2022: Saya mendapati pohon tersebut kekeringan. Kondisinya kering, daung-daun ada yang masih hijau menguning tapi layu, ada juga yang sudah sangat mengunging, batangnya pun ada bagian yang kecoklatan. Ada salah saya di sana, beberapa hari keluar kota dan masuk kantor di pagi hari dengan pulang yang sudah lelah dan malam, saya terlewat untuk merawat. Ada sedikit menyesal, tapi mudah juga saya melepasnya, karena saya tahu, tanaman punya caranya sendiri juga utuk bertumbuh. Dengan kondisi pohon cabai itu, dia masih menyisakan dua buah cabai lagi sebelum “sepertinya mati”. Saya tidak memanennya, melainkan membiarkan. Saya tetap sirami, masih ada harapan dia memiliki daya lenting yang cukup untuk bisa tumbuh kembali, minimal tumbuh kembali tanpa memikirkan buah cabainya.

Ada sedikit menyesal, tapi mudah juga saya melepasnya, karena saya tahu, tanaman punya caranya sendiri juga utuk bertumbuh

Sebenarnya dia hanya melewati masa untuk hidup kembali

Tanggal 11 Juli 2022: Saya mendapati pohon tersebut mulai tumbuh kembali. Saya bilang ada harapan, tapi saya melepaskan ekspektasi, kemelekatan anatara ada manusia yang berusaha menyirami dan merawatnya dan kemudian dia bisa tumbuh dan berbuah. Pertumbuhan kembalinya ditandai dengan daun-daun kecil yang tumbuh dibatang utamanya, hijau segar. Menyisakan batang atasnya yang kering beserta daun-daun lainnya. Cabainya juga kering, cabai kering tentu setelah ini akan menjadi benih, berpotensi menjadi tanaman baru, kehidupan baru. Senyum muncul di wajah ini hanya karena kejadian-kejadian sederhana yang berlangsung di satu pohon cabai yang mencoba bertahan hidup. Dari tanaman ini saya belajar, seperti itulah daya lenting, being resilient. Sebagai manusia, yang bahkan memiliki banyak kelebihan dan kesempatan, tidak ada alasan untuk tidak mempunyai daya lenting yang dapat dicontek dari tanaman ini. Tanaman ini di pot diamter 20cm, tidak bisa bergerak hanya bisa berharap si perawat memeperlakukannya dengan baik atau kondisi alam bersahabat dengannya. Sama seperti saya, seorang manusia yang hanya punya satu tubuh dengan segala sistemnya dan saya adalah perawatnya.

Bersyukur menyaksikan perjalanan pohon cabai, daya lenting seperti ini sangat bisa dijadikan bahan refleksi. Bagi diri ini, bagi kita semua.

Akhir kata

Tanpa riset sebelumnya saya menulis paragraf di atas tentang perbedaan penggunaan kata tumbuhan dan tanaman, ternyata setelah melihat dari beberapa sumber tumbuhan adalah flora yang tumbuh secara alami, sedangkan tanaman adalah tumbuhan yang dengan sengaja ditanam oleh manusia atau ada campur tangan manusia di sana. Sepakat, tapi sebenarnya.. ada masa di mana ketika menanam dan kita tidak bisa mengendalikan mereka seratus persen fitrahnya sebagai tumbuhan: Tumbuh sesuai dengan kondisi yang dialaminya. Apakah kita manusia bisa juga seperti itu?

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: